gambar from:
putribaitihamzah.blogspot.com
Saat
itu aku ingat, sepulang mengaji di sebuah pondok terbesar di Kota Blora, ada sebuah acara yang diadakan di pondok. Ak tidak lantas keluar
untuk menemui laki-laki itu. Aku malah khidmad mengikuti acara yang
diselenggarakan Pak Kyai. Yaa, acara semesteran yang digelar bagi seluruh
penghuni pondok, termasuk penghuni dadakan (alias yang hanya ikut ngaji nya
saja, seperti aku yang hanya mengikuti kelas sore). Matahari sudah hamper tenggelam
di ufuk barat, dan acara masih berlangsung. Tiada pager apalagi handphone yang
kubawa, masih tidak terlalu penting saat itu bagiku. Akhirnya, saat adzan
maghrib berkumandang, barulah Pak Kyai menyelesaikan pidato dan rangkaian
acaranya. Dilanjutkan solat maghrib berjamaah di aula yang besar di pondok itu.
Aku
masih tidak peduli, aku masih saja kukuh dengan keegoisanku. Keegoisan untuk
tak menemui laki-laki itu dulu, padahal aku tahu dan semestinya tahu bahwa dia
telah menungguku. Sejak lepas jam pelajaran usai. Tapi, dengan tetap egosinya,
aku tanpa pamit dan berkata apa-apa, aku ikut saja acara pondok sampai selesai.
Ada
pikiran melintas, “paling udah pulang, gak mungkin lah nungguin”, ada lagi, “hmm,
naik becak juga bias sampai, buat apa nungguin aku. Iyaa kan”. Sepanjang jalan
dari dalam pondok sampai pintu keluar, pikiranku hanya dipenuhi dengan cara
bagaimana aku pulang, naik becak, nebeng atau paling ekstrim jalan kaki sampai
rumah. Pikiran negative yang sangat membodohiku. Bagaimana tidak, setelah
berada di bibir jalan. Ak lihat laki-laki itu. Masih dengan jaket, celana, helm
dan sandal jepitnya. Duduk di atas motor bututnya. Yaa, motor yang selalu penuh
kenangan perjuangan semasa hidupnya. Dengan senyum mengembang sangat lebar dia
lantas menyalakan mesin motor. Dengan susah payah tentunya. Lalu menyeberang
dan menghampiriku.
“kok
baru pulang dek? Ada acara to? Ko ga bilang abah dulu?”
Deg…
Itulah
dia, abahku. Laki-laki yang dengan setianya menungguku berjam-jam, menunggu
untuk memastikan apakah aku sudah benar-benar pulang atau masih di pondok. Dan aku,
tanpa memedulikan kecemasannya, larut dalam kekhidmatan acara pondok. Lelaki yang
mau menunggu disaat dia masih ada pekerjaan untuk diselesaikan, untuk
memastikan keadaan anak perempuannya baik-baik saja. Yaa, dialah lelaki yang
masih mau menggunakan motor bututnya, disaat sudah ada motor terbaru, demi
digunakan anak-anaknya pergi ke sekolah. Laki-laki yang dengan tulus membelai rambutku
dan mengecup pipi saat aku pulang. Lelaki yang saat ini, aku sangat rindukan.
ABAH,
noviiiiii kangen……..T.T