Siang itu,
segerombolan anak kecil tengah bermain kelereng dengan asyiknya di sebuah
lapangan desa mereka tinggal, salah satu diantaranya adalah adikku. Ya, dia
satu-satunya cewek di antara gerombolan anak-anak itu. Memang, teman yang
sebaya dengannya semuanya cowok, di keluargaku dia anak terakhir yang terlahir
di dunia sebelum ibu meninggal. Sebenarnya, ayah sangat ingin mempunyai anak
laki-laki dari rahim ibu, akan tetapi Allah berkehendak lain, ketiga anaknya
semuanya perempuan.
Selesai
bermain, adikku langsung pulang dan menemui ayah yang sedang berkebun, mereka
sangat akrab dan bahkan tak pernah berpisah dalam waktu yang lama. Ayahku
terkenal sebagai seorang yang keras, aku dan kakakku tidak begitu dekat dengan ayah,
hanya adikku saja yang bisa merebut hati ayah. Setiap kali aku tanya ibu,
kenapa ayah tidak bisa memanjakan kami ibu seperti ayah memanjakan Dhea adikku,
ibu selalu menjawab, ” ayah capek sayang setelah bekerja seharian, mungkin
besok ayah bisa bermain bersama kamu dan kakak”. Aku mengangguk saja dan
berdo’a sebelum tidur semoga hari berikutnya ayah mau mengajak aku dan kakak
bermain bersama, akan tetapi hal tersebut tidak pernah terjadi sampai sekarang
aku sudah menginjakkan kaki di perguruan tinggi negeri di kota Budaya.
Aku merasa
bahwa ayahku orang yang paling jahat sedunia, orang yang tidak pernah
memberikan kasih sayangnya kepada anaknya, pilih kasih dan tidak pernah
menuruti apa kemauanku dan kakakku. Akan tetapi, kakakku tidak pernah ambil pusing,
mengingat dia sudah bahagia dengan keluarga barunya yang baru terbina kurang
lebih 2 bulan yang lalu dan ikut merantau ke luar negeri bersama suaminya yang
bule. Bagiku, hanya ibu yang paling mengerti dan memahami keinginanku. Saat ibu
pergi meninggalkan dunia yang penuh fana ini, ak tidak tahu harus bersandar
kemana untuk dapat mencurahkan segala kesuh kesahku.
Aku tidak
pernah tahu kenapa ayah sangat membenciku dan tidak pernah mau bicara kepadaku,
bicaranya hanya seperlunya dan itupun tidak banyak. Kalau aku pikir-pikir,
sebagai seorang anak, aku cukup dapat diandalkan, aku bisa diterima di jurusan
kedokteran, selain itu aku aktif mengurus bisnis ibu yang membuka salon dan spa
yang berdiri 5 tahun lalu, bahkan di bawah pengawasanku, salon dan spa tersebut
kian laris dan berkembang. Sedangkan adekku? Dia hanyalah seorang bocah kecil
yang baru lahir didunia 8 tahun yang lalu didunia, bahkan saking tidak mau
pedulinya aku dengan adekku, aku tidak tahu kalau dia sekarang sudah menginjak
usia 8 tahun. Kegiatannya sehari-harinyapun aku tidak tahu, yang aku tahu saat
pulang malam kerumah dia sudah tidur disamping ayah dan paginya dia sudah ke
sekolah, saat sore kebetulan aku pulang dia sedang jalan-jalan bersama ayah
atau kalau enggak seperti hari ini bermain kelereng dengan teman-temannya.
Aku menjadi
asing di rumahku sendiri, seakan-akan rumahku adalah nerakaku. Ya, tak banyak
yang bisa kuperbuat, yang bisa kulakukan kalau aku kelamaan di rumah adalah hanya
menghabiskan waktu untuk meliaht keharmonisan yang tidak seimbang. Akan tetapi,
demi menjalankan amanah ibu, aku tetap pulang kerumah dan mengurusi segala
urusan rumah, dan tetap harus menyayangi ayah dan adekku. Ibu, apa tidak salah?
Apa yang aku dapat ibu? Hanya sakit hati...huhuhuuu...
***
Suatu hari,
adekku kejang-kejang. Saat itu aku sedang tidak ada kuliah dan kebetulan salon
dan spa juga sedang sepi jadi aku memutuskan untuk di rumah sebentar. Ayah
sedang pergi bekerja. Awalnya aku panik, karena sebagai kakaknya aku bahkan
tidak tahu kalau adekku bisa sakit dan kejang-kejang seperti itu. Saat itu, aku
langsung membopongnya masuk ke mobil dan menuju rumah sakit. Ayah yang
mendengar kabar tersebut langsung meluncur dan menunggui adekku dengan penuh
kasih sayang di rumah sakit. Dalam hati, aku menangis. Ayah, bisakah engkau
berbuat ini kepadaku??
Selama 10
hari Dhea opname, lalu diijinkan pulang. Ayah pergi ke Singapura, katanya
sedang ada urusan bisnis. Aku dengan ikhlas merawat adekku. Entah alasan apa
yang mendorong aku untuk mau merawatnya, sebelumnya bahkan untuk bertatapan
mata dengannya aku tidak mau. Tapi, saat kulihat dia tergeletak tak berdaya di
rumah sakit aku begitu sadar bahwa aku sangat menyayanginya. Ya, terlepas dari
itu, aku tidak akan pernah dapat menjadi seperti adekku. Seorang gadis kecil
yang dengan rela mau mendonorkan salah satu hatinya untuk kakaknya yang tak tau
malu ini. Ternyata seseorang yang telah mau mendonorkan hatinya tak lain adalah
adek kandungku sendiri, yang dulu begitu aku benci karena alasan lebih dimanja
ayah. Benar saja ayah sangat memanjakan dan melindunginya, terlebih untuk
mencegah agar aku tidak tahu siapa pendonorku. Maafkan aku Dhea, dan maafkan
aku ayah telah salah menilaimu. Mulai hari ini aku akan selalu menyayangimu dan
Dhea. Tak ada orang hebat lain di dunia ini selain kalian berdua. Saat ayah
pulang nanti, izinkan aku menciummu dan memelukmu ayah. Tanpa terasa air mata menetes dengan deras
dari kedua pelipis mataku.
Dhea yang melihatku menangis lantas mendekatkan ujung jari-jarinya untuk membersihkan air mata yang sudah telanjur menetes. dia tersenyum simpul seolah mengatakan "jangan sedih kakakku"
***
Sudah 3
bulan ini ayah pergi ke Singapura. Dan sejak 3 bulan ini pula aku selalu merasa
sangat merindukannya. Kapan pulang ayah? Sudah tidak sabar aku menunggu
kedatanganmu. Aku yang sangat sibuk co-ass keluar kota dan daerah-daerah pedalaman hanya bisa memantau Dhea lewat skype, chat dan media sosial lainnya. yaa, semua kulakukan agar segera lulus menjadi dokter, dan melanjutkan mengambil specialist penyakit dalam sesuai dengan permintaanmu ayah. Batinku gembira.
Dhea semakin
hari semakin membaik, tumor yang mengendap di kepalanya berhasil diangkat oleh
tim dokter. Kini, setiap kali aku pulang dari pedalaman tempatku co-ass selalu kusempatkan mengajak Dhea jalan-jalan.
Hari ini,
Dhea mengajakku pergi. Aku tidak tahu dia mengajakku kemana. Yang aku tahu, aku
harus menyetir sesuai dengan petunjuk arah yang dilantunkan pelan dari bibir
mungilnya. Aku kaget saat berhenti, ternyata di tempat pemakaman umum dimana
ibu dimakamkan. Kita nyekar bersama dan berdo’a untuk ibu.
Lalu adekku
mengajakku berjalan kira-kira 100 meter dari tempat makam ibu. Lalu berhenti di
sebuh batu nisan yang masih basah tertimpa hujan semalam. Aku melihat nama yang
tertera disana
SUROSO
Lahir 2 Februari 1956
Wafat 6 Maret 2011
Ak memandang dhea
dengan heran. Dhea lalu memelukku.
”Maafin ayah ya Kak,
selama ini ayah gak bisa menyayangi kakak seperti ayah sangat sayang sama Dhea”
Hanya itu
yang diucapkan Dhea. Dia lalu pergi berjalan menjauh dariku, membiarkan aku
yang masih tergugu di depan makam ayah. Ada sebuah buku bersampul hitam
tergeletak disana, aku mengambil buku itu lalu menoleh ke Dhea. Dhea
mengangguk. Aku berharap semoga semua tandatanyaku terjawab disini. Lalu aku
mengikuti langkah Dhea dan menggandengnya dengan erat menuju mobil.
Ingat
pepatah: ”kasih sayang anak hanya
sepanjang galah, kasih sayang orang tua sepanjang masa”......
Aku berjalan
lunglai setelah dari makam. Ayah, maafkan aku. Anakmu yang tak tahu diri ini.
Desisku pelan.
Solo, 10 Agustus 2012