Maafkan aku salah menilaimu.....

|

Siang itu, segerombolan anak kecil tengah bermain kelereng dengan asyiknya di sebuah lapangan desa mereka tinggal, salah satu diantaranya adalah adikku. Ya, dia satu-satunya cewek di antara gerombolan anak-anak itu. Memang, teman yang sebaya dengannya semuanya cowok, di keluargaku dia anak terakhir yang terlahir di dunia sebelum ibu meninggal. Sebenarnya, ayah sangat ingin mempunyai anak laki-laki dari rahim ibu, akan tetapi Allah berkehendak lain, ketiga anaknya semuanya perempuan.

Selesai bermain, adikku langsung pulang dan menemui ayah yang sedang berkebun, mereka sangat akrab dan bahkan tak pernah berpisah dalam waktu yang lama. Ayahku terkenal sebagai seorang yang keras, aku dan kakakku tidak begitu dekat dengan ayah, hanya adikku saja yang bisa merebut hati ayah. Setiap kali aku tanya ibu, kenapa ayah tidak bisa memanjakan kami ibu seperti ayah memanjakan Dhea adikku, ibu selalu menjawab, ” ayah capek sayang setelah bekerja seharian, mungkin besok ayah bisa bermain bersama kamu dan kakak”. Aku mengangguk saja dan berdo’a sebelum tidur semoga hari berikutnya ayah mau mengajak aku dan kakak bermain bersama, akan tetapi hal tersebut tidak pernah terjadi sampai sekarang aku sudah menginjakkan kaki di perguruan tinggi negeri di kota Budaya.

Aku merasa bahwa ayahku orang yang paling jahat sedunia, orang yang tidak pernah memberikan kasih sayangnya kepada anaknya, pilih kasih dan tidak pernah menuruti apa kemauanku dan kakakku. Akan tetapi, kakakku tidak pernah ambil pusing, mengingat dia sudah bahagia dengan keluarga barunya yang baru terbina kurang lebih 2 bulan yang lalu dan ikut merantau ke luar negeri bersama suaminya yang bule. Bagiku, hanya ibu yang paling mengerti dan memahami keinginanku. Saat ibu pergi meninggalkan dunia yang penuh fana ini, ak tidak tahu harus bersandar kemana untuk dapat mencurahkan segala kesuh kesahku.

Aku tidak pernah tahu kenapa ayah sangat membenciku dan tidak pernah mau bicara kepadaku, bicaranya hanya seperlunya dan itupun tidak banyak. Kalau aku pikir-pikir, sebagai seorang anak, aku cukup dapat diandalkan, aku bisa diterima di jurusan kedokteran, selain itu aku aktif mengurus bisnis ibu yang membuka salon dan spa yang berdiri 5 tahun lalu, bahkan di bawah pengawasanku, salon dan spa tersebut kian laris dan berkembang. Sedangkan adekku? Dia hanyalah seorang bocah kecil yang baru lahir didunia 8 tahun yang lalu didunia, bahkan saking tidak mau pedulinya aku dengan adekku, aku tidak tahu kalau dia sekarang sudah menginjak usia 8 tahun. Kegiatannya sehari-harinyapun aku tidak tahu, yang aku tahu saat pulang malam kerumah dia sudah tidur disamping ayah dan paginya dia sudah ke sekolah, saat sore kebetulan aku pulang dia sedang jalan-jalan bersama ayah atau kalau enggak seperti hari ini bermain kelereng dengan teman-temannya.

Aku menjadi asing di rumahku sendiri, seakan-akan rumahku adalah nerakaku. Ya, tak banyak yang bisa kuperbuat, yang bisa kulakukan kalau aku kelamaan di rumah adalah hanya menghabiskan waktu untuk meliaht keharmonisan yang tidak seimbang. Akan tetapi, demi menjalankan amanah ibu, aku tetap pulang kerumah dan mengurusi segala urusan rumah, dan tetap harus menyayangi ayah dan adekku. Ibu, apa tidak salah? Apa yang aku dapat ibu? Hanya sakit hati...huhuhuuu...

 
***


Suatu hari, adekku kejang-kejang. Saat itu aku sedang tidak ada kuliah dan kebetulan salon dan spa juga sedang sepi jadi aku memutuskan untuk di rumah sebentar. Ayah sedang pergi bekerja. Awalnya aku panik, karena sebagai kakaknya aku bahkan tidak tahu kalau adekku bisa sakit dan kejang-kejang seperti itu. Saat itu, aku langsung membopongnya masuk ke mobil dan menuju rumah sakit. Ayah yang mendengar kabar tersebut langsung meluncur dan menunggui adekku dengan penuh kasih sayang di rumah sakit. Dalam hati, aku menangis. Ayah, bisakah engkau berbuat ini kepadaku??

Selama 10 hari Dhea opname, lalu diijinkan pulang. Ayah pergi ke Singapura, katanya sedang ada urusan bisnis. Aku dengan ikhlas merawat adekku. Entah alasan apa yang mendorong aku untuk mau merawatnya, sebelumnya bahkan untuk bertatapan mata dengannya aku tidak mau. Tapi, saat kulihat dia tergeletak tak berdaya di rumah sakit aku begitu sadar bahwa aku sangat menyayanginya. Ya, terlepas dari itu, aku tidak akan pernah dapat menjadi seperti adekku. Seorang gadis kecil yang dengan rela mau mendonorkan salah satu hatinya untuk kakaknya yang tak tau malu ini. Ternyata seseorang yang telah mau mendonorkan hatinya tak lain adalah adek kandungku sendiri, yang dulu begitu aku benci karena alasan lebih dimanja ayah. Benar saja ayah sangat memanjakan dan melindunginya, terlebih untuk mencegah agar aku tidak tahu siapa pendonorku. Maafkan aku Dhea, dan maafkan aku ayah telah salah menilaimu. Mulai hari ini aku akan selalu menyayangimu dan Dhea. Tak ada orang hebat lain di dunia ini selain kalian berdua. Saat ayah pulang nanti, izinkan aku menciummu dan memelukmu ayah. Tanpa terasa air mata menetes dengan deras dari kedua pelipis mataku.
Dhea yang melihatku menangis lantas mendekatkan ujung jari-jarinya untuk membersihkan air mata yang sudah telanjur menetes. dia tersenyum simpul seolah mengatakan "jangan sedih kakakku" 

 
***


Sudah 3 bulan ini ayah pergi ke Singapura. Dan sejak 3 bulan ini pula aku selalu merasa sangat merindukannya. Kapan pulang ayah? Sudah tidak sabar aku menunggu kedatanganmu. Aku yang sangat sibuk co-ass keluar kota dan daerah-daerah pedalaman hanya bisa memantau Dhea lewat skype, chat dan media sosial lainnya. yaa, semua kulakukan agar segera lulus menjadi dokter, dan melanjutkan mengambil specialist penyakit dalam sesuai dengan permintaanmu ayah. Batinku gembira.

Dhea semakin hari semakin membaik, tumor yang mengendap di kepalanya berhasil diangkat oleh tim dokter. Kini, setiap kali aku pulang dari pedalaman tempatku co-ass selalu kusempatkan mengajak Dhea jalan-jalan.

Hari ini, Dhea mengajakku pergi. Aku tidak tahu dia mengajakku kemana. Yang aku tahu, aku harus menyetir sesuai dengan petunjuk arah yang dilantunkan pelan dari bibir mungilnya. Aku kaget saat berhenti, ternyata di tempat pemakaman umum dimana ibu dimakamkan. Kita nyekar bersama dan berdo’a untuk ibu.

Lalu adekku mengajakku berjalan kira-kira 100 meter dari tempat makam ibu. Lalu berhenti di sebuh batu nisan yang masih basah tertimpa hujan semalam. Aku melihat nama yang tertera disana

SUROSO

Lahir 2 Februari 1956

Wafat  6 Maret 2011

Ak memandang dhea dengan heran. Dhea lalu memelukku.

”Maafin ayah ya Kak, selama ini ayah gak bisa menyayangi kakak seperti ayah sangat sayang sama Dhea”

Hanya itu yang diucapkan Dhea. Dia lalu pergi berjalan menjauh dariku, membiarkan aku yang masih tergugu di depan makam ayah. Ada sebuah buku bersampul hitam tergeletak disana, aku mengambil buku itu lalu menoleh ke Dhea. Dhea mengangguk. Aku berharap semoga semua tandatanyaku terjawab disini. Lalu aku mengikuti langkah Dhea dan menggandengnya dengan erat menuju mobil.

Ingat pepatah: ”kasih sayang anak hanya sepanjang galah, kasih sayang orang tua sepanjang masa”......

Aku berjalan lunglai setelah dari makam. Ayah, maafkan aku. Anakmu yang tak tahu diri ini. Desisku pelan.

 

Solo, 10 Agustus 2012

 

SMS (2)

|

 
Mataku yang berkunang-kunang, seakan membuka semakin lama semakin melebar. Ada sejumput cahaya dari atas yang berpendar kekuningan, menghiasi sebuah ruangan yang serba hijau, ada sebuah meja kecil di pojokan  ruangan lengkap dengan setumpuk buku-buku tebal berjajar rapi.

“Dimana ini?” batinku bertanya sambil kupegang kepala yang masih agak sakit.

Seseorang mengetuk pintu dan membukanya. Aku terperanjat. Seseorang yang beberapa bulan ini selalu mengusik hidupku. Hei, kenapa dia ada disini, ini dimana. Batinku berontak.

Dia berjalan pelan-pelan sambil membawa sebuah nampan berisi piring dan gelas. Mataku sudah tidak sanggup menatap apa yang ada di dalamnya. Dia tersenyum dan semakin mendekat ke tempat tidur. Aku semakin menjauh ke pinggir sisi ranjang yang lain. Jelas terlihat wajah ketakutan padaku.

 “kamu tadi pingsan dikampus, dan kampus uda sepi. Aku bingung bawa kamu kemana, jadinya aku bawa kerumahku. Maaf ya, sekalian ada yang ngurus. Si bibik” tanpa diminta dia menjelaskan apa yang ada dipikiranku.

“buruan gih dimakan, pasti laper kamu tuh” katanya sambil menaruh nampan itu di meja. Semerbak aroma soup dan teh anget menyembul. Wajahku langsung berubah seperti orang yang gak pernah makan seminggu. Dan tanpa sadar, dia masih berdiri di dekat pintu. Melihatku berulah seperti anak kecil mendapatkan balon atau permen dari mamanya. Aku menoleh dan memsang muka sedikit cemberut. Dia buru-buru menutup pintu kamar.

Setelah dia keluar, akupun langsung melahap habis makanan itu tanpa sisa. Benar-benar lapar yaa nak, kataku sambil mengelus lembut perut.

 ###

Setelah kejadian itu, ku tak pernah absen main kerumah Nadilia Kesumo itu. Yaa, cowok yang dari awal mula aku sangat membencinya entah sekarang rasa apa yang ada di hatiku. Bisa saja hanya kagum atau memang aku sayang? Ahh, aku hanya merasa nyaman saja bila bisa dekat-dekat terus disampingnya, itu saja.

Ternyata lelaki yang dulu sangat aku benci bisa mengubahku seperti ini. Selama kurang kurang lebih tiga bulan ini, kami kerap terlihat bersama. Entah itu dikampus ataupun di tempat-tempat manapun yang penuh berisi buku. Yaah, bisa dibilang kita adalah nerd. Benar-benar kutu buku. Dalam sehari bisa kita melahap buku-buku yang ada dalam sekejap.

“Dil, punya koleksi buku baru apa?” pertanyaan retoris yang kusampaikan di gagang telepon malam ini.  Karena hamper semua buku yang ada dikamarnya sudah kita habiskan bersama, saling mengisi dan mendiskusikan apa-apa yang ada di dalam buku tersebut.

Nadilia Kesumo, cowok yang selama ini kukenal sangat santun dan sangat pemilih dalam penggunaan kata-kata itu, tak pernah sedikitpun berkata yang sedikit membentak atau apa. Dia dirumah hanya bersama pembantunya. Dia sekalipun tidak pernah bercerita tentang keluarganya, akupun bahkan tidak pernah mau tahu. Setiap kita ketemu hanya membahas buku dan buku.

Aku hanya melihat fotonya bersama sang ayah di sudut meja kecil hijaunya. Foto yang diambil didepan gedung sate Bandung. Sebuah harmonisasi yang kental sekali antara bapak dan anak. Dan hey, dimanakah ibunya?

“mama sudah meninggal ve, sejak aku lahir mama sudah ndak ada. Itu yang papa bilang” jawab Nadil sambil masih menghabiskan sisa-sia mie ayam di mangkuknya, di sebuah sore di pojokan kantin kampus.

“maaf”

Dia menggeleng lemah “nevermind”

“papaku juga dil, sudah ndak ada sejak aku lahir” kataku sambil melihat ke atas. Menerawang bagaimana mama menceritakan bahwa papa sudah tidak ada di dunia ini.

Kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Menikmati setiap episode yang terputar dari rekam memori otak. Antara yang satu dan lainnya yang tak tahu apalah itu isinya.
 
###

Entah apa yang terjadi pada Mamah sejak hari itu. Hari dimana aku membawa Dilla main kerumah. Semua berbeda, semuanya semu, semuanya berantakan. Tak ada lagi gairahnya untuk bekerja, tak ada lagi gairahnya untuk menulis. Mamah, apa salahnya Dilla? Tak bisakah aku berteman dengannya? Kita itu cocok, kita mempunyai hobi yang sama, dan kita mempunyai mimpi yang sama. Protesku malam itu setelah Dilla pamit pulang kerumahnya.

Mamah hanya menjawab dengan pandangan sinis dan membanting pintu masuk ke kamarnya. Akupun tak bisa menahannya jika sudah seperti itu. Selama aku hidup, baru kali ini aku melihat mama semarah itu padaku, sangat marah.

 ###

Sebulan setelah itu, kesehatan mama menurun drastic. Tuhan, aku tidak pernah melihat mama seburuk ini kondisinya, batinku saat menunggui mama dirumah sakit selepas pingsan di kantornya sehari sebelumnya.

Dokter bilang jika mama mempunyai penyakit jantung. Bahkan akupun tak tahu selama ini. Ma, kenapa gak pernah cerita? Isakku disamping mama dengan dipenuhi seluruh alat disekujur badannya. Seminggu, waktu yang teramat singkat bagiku untuk mengetahui penyakit mama.

“Ma, maafin veraaa ma. Vera kan mau ngajak mama ke museum minggu ini, kenapa mama malah sakit?” aku tak kuasa menahan air mata yang mengalir deras begitu saja.

Tangan mama bergerak perlahan menyentuh jariku. Aku langsung bangun dan menatap matanya yang sayu. Dia tersenyum tipis. Aku mendekatkan telinga ke samping, mama mengucapkan sesuatu.

Aku kaget, tapi aku akan menuruti permintaannya itu.

Entahlah, apa yang akan mama lakukan. Seribu pikiran memenuhi kepalaku malam ini. Malam ini giliran bibi yang menjaga mama, aku pulang ke rumah untuk istirahat, sudah dari kemarin aku belum kerumah.

 ###

Siang itu, saat aku menunggui mama dirumah sakit seseorang masuk ke kamar rawat inap mama. Orang yang sangat membuatku bahagia akhir-akhir ini, siapa lagi kalau bukan Dilla. Akan tetapi setelah itu, ada seseorang lagi mengikuti di belakangnya. Seorang laki-laki berbadan tegap dengan kumis dan jenggot yang sudah agak beruban.

Kubangunkan mama perlahan. Sedikit agak berat membuka mata dan akhirnya mampu membuka sempurna. Mama perlahan menatapku, Dilla dan lalu lelaki itu. Entahlah dia siapa, tapi sekilas aku pernah melihatnya ada di jejeran foto di rumah Dilla. Aku langsung mahfum jika itu adalah papanya Dilla, yang baru pulang dari Milan.

Mama tersenyum getir melihat laki-laki itu. Begitupun lelaki itu. Dia lantas terduduk dan memegangi tangan mama. Kulihat, ada buliran tipis air mengalir diantara mereka berdua. Aku dan Dilla lantas berpandangan aneh, tanpa sadar air mata keluar juga dari mataku. Aku berlari keluar kamar, Dilla mengejarku.

Diluar ruangan, aku tak kuasa lagi. Tangisku semakin menjadi. Dilla menjajari dudukku. Dia mengelus perlahan punggungku.

“kamu udah tau dari kapan?” tanyaku yang persis seperti orang menjerit.

“2 hari lalu, saat papa pulang…bla..bla.. blaa…”

Aku tak sanggup lagi mendengar penjelasannya. Yang kuingat setelah itu, semuanya didepanku gelap gulita. Tanpa cahaya.

 ###

Ruangan kantor ini dan Vera berjalan perlahan, masih mengeja satu demi satu isi penjelasan SMS itu. Dari lelaki itu……………

 

 
Jakarta, 16 Maret 2014
Sorry ya baru sempat menyelesaikan part 2 nya, sibuk oey, :D

 

 

Bahagia Untukmu

|
Hari itu, sahabat-sahabatmu banyak yang memberitahuku mengenai rencanamu. Sebuah rencana indah akan masa depan, membangun sebuah keluarga. Bukanlah sebuah rencana yang main-main menurutku. Itu sebuah keputusan yang akan dijalani sepanjang hidup, tanpa bisa ditawar lagi. Keputusan spektakuler yang pasti sudah matang difikirkan.

Hari itu, tidak seperti hari biasanya. Akupun menyadarinya. Ada sesuatu yang aneh dihatiku. Bukan, bukannya aku ingin protes atau memarahimu. Aku hanya ingin menyenangkan hatiku. Hatiku bersemi, hatiku tersenyum.

Inikah jawaban atas semua do’a? inikah jawaban atas semua pertanyaan selama setahun terakhir? Inikah jawaban atas sebuah perjalanan itu?

Yaa, di hari itu. Tidak cukup satu dua orang yang memberitahuku. Akupun tersenyum. Tersenyum untukmu. Aku disini mendo’akanmu, agar bahagia selalu. Tanpa perlu kau tahu dari siapa berita itu. Aku tetap akan mendo’akanmu.

Katamu, yang lalu biarlah berlalu. Lupakan. Tak ada yang perlu dikenang. Sudah, aku sudah melakukan itu, tak perlu lagi kau ragu.

Tuhan, sematkanlah selalu kebahagiaan untuknya dan keluarganya. Tugasku untuk menemaninya telah usai, tak ada yang perlu aku khawatirkan, tak ada pula yang perlu aku cemaskan. Aku percaya, siapapun dia sekarang, itulah yang dia inginkan. Yang akan selalu bersamanya memeluk mimpi-mimpinya.

Kamu, masa kualiahku. Baik-baik ya, ;)

 

Jakarta, 7 Maret 2014
Beberapa minggu setelah tau kamu mengucapkan janji suci itu, ;)