Semalam itu membuatnya tak bisa
tidur. Sms dari seseorang yang begitu dikenalnya membuatnya tak bisa konsen
bekerja pagi ini. Pikirannya melanglang buana entah kemana. Wajahnya murung,
bingung dan sedikit pucat.
Buk….
Tubuh mungilnya menabrak mesin
fotocopy yang terletak di pinggir ruangan. Kertas yang dibawanya bercampur aduk
dengan dokumen lain yang gagal ter-fotocopy disana. Sesaat tangannya merapikan
semua dokumen-dokumen itu, hingga ada sepasang tangan lain yang ikut membantu.
“gak tidur lagi semalem ve?”
suara ngebass dari seorang cowok membuyarkan pikirannya. Dia tergeragap dan
memaksakan senyuman keluar dari mulutnya sambil menggeleng pelan.
“trus?” lanjutnya.
Vera mengangkat kedua bahunya,
seakan malas melanjutkan pembicaraan dan menjawab pertanyaan itu, dia berjalan
gontai menuju ruangannya. Cowok itu memandangi punggung gadis itu dengan
tatapan penuh tanda tanya, lantas tersenyum simpul dan berjalan menjauh menuju
ruangannya sendiri sambil bersiul.
Vera masih saja memegangi
hapenya, membaca berulang-ulang SMS yang diterimanya 14 jam yang lalu. Pikirannya
masih berkelana, berkelana ke masa lalu, mencoba merangkai kembali
potongan-potongan puzzle yang dulu sudah lama dibongkarnya, dipilah-pilahnya
untuk menjadi satu rangkaian puzzle utuh yang dia sendiri belum tahu ujungnya
kemana sampai sekarang.
###
Kampus itu begitu temaram di
senja hari, menawarkan keromantisan yang tidak dapat dibeli dengan apapun. Banyak
cerita yang tertulis dan berkembang disana. Entah itu tulisan yang indah untuk
menjadi sebuah puisi, atau hanya prosa yang menari-nari di atas awan.
Di tempat itulah aku bertemu
dengannya, sesosok lelaki yang membuatku bergetar untuk pertama. Di tempat yang
harusnya dijadikan tempat nomor satu untuk belajar, perpustakaan. Yaa,
perpustakaan fakultas yang biasanya hanya ramai dipenuhi oleh anak-anak menjelang
ujian itu. Sebuah tempat yang sangat nyaman bagiku untuk membaca, menulis dan
membangun mimpi.
Sampai suatu sore di hari itu,
aku bertemu dengannya. Lelaki yang entah darimana tiba-tiba berada didepanku. Duduk
di tempat yang biasa aku gunakan untuk duduk selama menjadi mahasiswi disini.
“maaf, ini kursi saya” dengan
nada suara yang dibuat selembut mungkin, dalam hati sudah ada parang dan golok
untuk membantainya.
Lelaki itu berdiam saja, tanpa
menghiraukan ucapanku. Aku semakin garang.
“ehhmmm”
Dia mendongak sebentar. Lalu menutup
buku yang dibacanya.
“ada tulisan namanya mbak ya di
meja sini? Ini kan perpus, semua orang bebas duduk dan memakai meja mana saja
yang diinginkan” katanya datar, dengan muka yang sangat-sangat tidak bersalah.
Aku semakin gondok, ingin rasanya
kumaki-maki, tapi tertahan. Aku lantas balik arah dan keluar dari perpus. Memang
benar tidak ada namaku dimeja itu, tapi semua orang juga tahu kalau itu mejaku.
Kenapa dia tidak tahu? Dari mana asalnya? Minta apa dia beraninya menggunakan
singgasana yang kumiliki. Satu sisi hatiku yang lain mengiyakan perkataannya,
tidak ada namaku dimeja itu, perpustakaan memang milik umum, siapapun bebas
untuk duduk di tempat yang dipilihnya. Tapi kenapa dia duduk disitu? Hatiku yang
satunya lagi mulai berontak.
Dari demi hari kulihat dia
semakin sering duduk disana. Aku sempat protes dengan penjaga perpus, tapi
beliau juga menyuarakan pendapat yang sama bahwa perpustakaan adalah ruangan public,
jadi siapapun dapat duduk ditempat yang dinginkannya. Akupun sering cekcok
dengan lelaki itu. Tapi dia tetap tenang dan tanpa balasan sedikitpun tetap
melanjutkan aktifitasnya.
Aku menyerah, tak sanggup jika
harus membuang-buang waktu untuk meladeni lelaki macam dia. Waktuku terbuang
sia-sia jika harus menuruti tingkah laku lelaki yang keras kepala seperti itu. Sekarang,
bukanlah perpustakaan yang menjadi favoritku. Sejak ada lelaki itu, tak bisa
lama-lama kuinjakkan kaki diperpus fakultasku sendiri. Aku memilih untuk
membawa buku-buku itu keluar dan bertengger di komunal dekat fakultas.
Aku tidak tahu dia siapa, akupun
bahkan tak mau tahu. Aku sudah sangat membencinya. Akupun tidak tahu bagaimana
bisa aku membenci orang yang tidak aku kenal. Semakin hari semakin kuat saja
rasa benci ini jika melihatnya. Ahhh, apalah artinya benci, mending aku tidak
usah bertemu dengannya, mending aku berdiam diri saja jika bertatapan
dengannya, toh aku juga tak mengenalnya, tidak penting juga jika aku dapat
mengenalnya. Semua pikiran itu sudah mengumpul menjadi satu kesatuan dihatiku.
Sampai suatu hari…
To be continued…
Jakarta, 24.12.2013,