SMS (1)

|


Semalam itu membuatnya tak bisa tidur. Sms dari seseorang yang begitu dikenalnya membuatnya tak bisa konsen bekerja pagi ini. Pikirannya melanglang buana entah kemana. Wajahnya murung, bingung dan sedikit pucat.

Buk….

Tubuh mungilnya menabrak mesin fotocopy yang terletak di pinggir ruangan. Kertas yang dibawanya bercampur aduk dengan dokumen lain yang gagal ter-fotocopy disana. Sesaat tangannya merapikan semua dokumen-dokumen itu, hingga ada sepasang tangan lain yang ikut membantu.

“gak tidur lagi semalem ve?” suara ngebass dari seorang cowok membuyarkan pikirannya. Dia tergeragap dan memaksakan senyuman keluar dari mulutnya sambil menggeleng pelan.

“trus?” lanjutnya.

Vera mengangkat kedua bahunya, seakan malas melanjutkan pembicaraan dan menjawab pertanyaan itu, dia berjalan gontai menuju ruangannya. Cowok itu memandangi punggung gadis itu dengan tatapan penuh tanda tanya, lantas tersenyum simpul dan berjalan menjauh menuju ruangannya sendiri sambil bersiul.

Vera masih saja memegangi hapenya, membaca berulang-ulang SMS yang diterimanya 14 jam yang lalu. Pikirannya masih berkelana, berkelana ke masa lalu, mencoba merangkai kembali potongan-potongan puzzle yang dulu sudah lama dibongkarnya, dipilah-pilahnya untuk menjadi satu rangkaian puzzle utuh yang dia sendiri belum tahu ujungnya kemana sampai sekarang.

###

Kampus itu begitu temaram di senja hari, menawarkan keromantisan yang tidak dapat dibeli dengan apapun. Banyak cerita yang tertulis dan berkembang disana. Entah itu tulisan yang indah untuk menjadi sebuah puisi, atau hanya prosa yang menari-nari di atas awan.

Di tempat itulah aku bertemu dengannya, sesosok lelaki yang membuatku bergetar untuk pertama. Di tempat yang harusnya dijadikan tempat nomor satu untuk belajar, perpustakaan. Yaa, perpustakaan fakultas yang biasanya hanya ramai dipenuhi oleh anak-anak menjelang ujian itu. Sebuah tempat yang sangat nyaman bagiku untuk membaca, menulis dan membangun mimpi.

Sampai suatu sore di hari itu, aku bertemu dengannya. Lelaki yang entah darimana tiba-tiba berada didepanku. Duduk di tempat yang biasa aku gunakan untuk duduk selama menjadi mahasiswi disini.

“maaf, ini kursi saya” dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin, dalam hati sudah ada parang dan golok untuk membantainya.

Lelaki itu berdiam saja, tanpa menghiraukan ucapanku. Aku semakin garang.

“ehhmmm”

Dia mendongak sebentar. Lalu menutup buku yang dibacanya.

“ada tulisan namanya mbak ya di meja sini? Ini kan perpus, semua orang bebas duduk dan memakai meja mana saja yang diinginkan” katanya datar, dengan muka yang sangat-sangat tidak bersalah.

Aku semakin gondok, ingin rasanya kumaki-maki, tapi tertahan. Aku lantas balik arah dan keluar dari perpus. Memang benar tidak ada namaku dimeja itu, tapi semua orang juga tahu kalau itu mejaku. Kenapa dia tidak tahu? Dari mana asalnya? Minta apa dia beraninya menggunakan singgasana yang kumiliki. Satu sisi hatiku yang lain mengiyakan perkataannya, tidak ada namaku dimeja itu, perpustakaan memang milik umum, siapapun bebas untuk duduk di tempat yang dipilihnya. Tapi kenapa dia duduk disitu? Hatiku yang satunya lagi mulai berontak.

Dari demi hari kulihat dia semakin sering duduk disana. Aku sempat protes dengan penjaga perpus, tapi beliau juga menyuarakan pendapat yang sama bahwa perpustakaan adalah ruangan public, jadi siapapun dapat duduk ditempat yang dinginkannya. Akupun sering cekcok dengan lelaki itu. Tapi dia tetap tenang dan tanpa balasan sedikitpun tetap melanjutkan aktifitasnya.

Aku menyerah, tak sanggup jika harus membuang-buang waktu untuk meladeni lelaki macam dia. Waktuku terbuang sia-sia jika harus menuruti tingkah laku lelaki yang keras kepala seperti itu. Sekarang, bukanlah perpustakaan yang menjadi favoritku. Sejak ada lelaki itu, tak bisa lama-lama kuinjakkan kaki diperpus fakultasku sendiri. Aku memilih untuk membawa buku-buku itu keluar dan bertengger di komunal dekat fakultas.

Aku tidak tahu dia siapa, akupun bahkan tak mau tahu. Aku sudah sangat membencinya. Akupun tidak tahu bagaimana bisa aku membenci orang yang tidak aku kenal. Semakin hari semakin kuat saja rasa benci ini jika melihatnya. Ahhh, apalah artinya benci, mending aku tidak usah bertemu dengannya, mending aku berdiam diri saja jika bertatapan dengannya, toh aku juga tak mengenalnya, tidak penting juga jika aku dapat mengenalnya. Semua pikiran itu sudah mengumpul menjadi satu kesatuan dihatiku.

Sampai suatu hari… 
 

To be continued…

Jakarta, 24.12.2013,

1 comments:

Anonymous said...

kisah cintany penulis ini mesti :-)

Post a Comment