SMS (2)

|

 
Mataku yang berkunang-kunang, seakan membuka semakin lama semakin melebar. Ada sejumput cahaya dari atas yang berpendar kekuningan, menghiasi sebuah ruangan yang serba hijau, ada sebuah meja kecil di pojokan  ruangan lengkap dengan setumpuk buku-buku tebal berjajar rapi.

“Dimana ini?” batinku bertanya sambil kupegang kepala yang masih agak sakit.

Seseorang mengetuk pintu dan membukanya. Aku terperanjat. Seseorang yang beberapa bulan ini selalu mengusik hidupku. Hei, kenapa dia ada disini, ini dimana. Batinku berontak.

Dia berjalan pelan-pelan sambil membawa sebuah nampan berisi piring dan gelas. Mataku sudah tidak sanggup menatap apa yang ada di dalamnya. Dia tersenyum dan semakin mendekat ke tempat tidur. Aku semakin menjauh ke pinggir sisi ranjang yang lain. Jelas terlihat wajah ketakutan padaku.

 “kamu tadi pingsan dikampus, dan kampus uda sepi. Aku bingung bawa kamu kemana, jadinya aku bawa kerumahku. Maaf ya, sekalian ada yang ngurus. Si bibik” tanpa diminta dia menjelaskan apa yang ada dipikiranku.

“buruan gih dimakan, pasti laper kamu tuh” katanya sambil menaruh nampan itu di meja. Semerbak aroma soup dan teh anget menyembul. Wajahku langsung berubah seperti orang yang gak pernah makan seminggu. Dan tanpa sadar, dia masih berdiri di dekat pintu. Melihatku berulah seperti anak kecil mendapatkan balon atau permen dari mamanya. Aku menoleh dan memsang muka sedikit cemberut. Dia buru-buru menutup pintu kamar.

Setelah dia keluar, akupun langsung melahap habis makanan itu tanpa sisa. Benar-benar lapar yaa nak, kataku sambil mengelus lembut perut.

 ###

Setelah kejadian itu, ku tak pernah absen main kerumah Nadilia Kesumo itu. Yaa, cowok yang dari awal mula aku sangat membencinya entah sekarang rasa apa yang ada di hatiku. Bisa saja hanya kagum atau memang aku sayang? Ahh, aku hanya merasa nyaman saja bila bisa dekat-dekat terus disampingnya, itu saja.

Ternyata lelaki yang dulu sangat aku benci bisa mengubahku seperti ini. Selama kurang kurang lebih tiga bulan ini, kami kerap terlihat bersama. Entah itu dikampus ataupun di tempat-tempat manapun yang penuh berisi buku. Yaah, bisa dibilang kita adalah nerd. Benar-benar kutu buku. Dalam sehari bisa kita melahap buku-buku yang ada dalam sekejap.

“Dil, punya koleksi buku baru apa?” pertanyaan retoris yang kusampaikan di gagang telepon malam ini.  Karena hamper semua buku yang ada dikamarnya sudah kita habiskan bersama, saling mengisi dan mendiskusikan apa-apa yang ada di dalam buku tersebut.

Nadilia Kesumo, cowok yang selama ini kukenal sangat santun dan sangat pemilih dalam penggunaan kata-kata itu, tak pernah sedikitpun berkata yang sedikit membentak atau apa. Dia dirumah hanya bersama pembantunya. Dia sekalipun tidak pernah bercerita tentang keluarganya, akupun bahkan tidak pernah mau tahu. Setiap kita ketemu hanya membahas buku dan buku.

Aku hanya melihat fotonya bersama sang ayah di sudut meja kecil hijaunya. Foto yang diambil didepan gedung sate Bandung. Sebuah harmonisasi yang kental sekali antara bapak dan anak. Dan hey, dimanakah ibunya?

“mama sudah meninggal ve, sejak aku lahir mama sudah ndak ada. Itu yang papa bilang” jawab Nadil sambil masih menghabiskan sisa-sia mie ayam di mangkuknya, di sebuah sore di pojokan kantin kampus.

“maaf”

Dia menggeleng lemah “nevermind”

“papaku juga dil, sudah ndak ada sejak aku lahir” kataku sambil melihat ke atas. Menerawang bagaimana mama menceritakan bahwa papa sudah tidak ada di dunia ini.

Kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Menikmati setiap episode yang terputar dari rekam memori otak. Antara yang satu dan lainnya yang tak tahu apalah itu isinya.
 
###

Entah apa yang terjadi pada Mamah sejak hari itu. Hari dimana aku membawa Dilla main kerumah. Semua berbeda, semuanya semu, semuanya berantakan. Tak ada lagi gairahnya untuk bekerja, tak ada lagi gairahnya untuk menulis. Mamah, apa salahnya Dilla? Tak bisakah aku berteman dengannya? Kita itu cocok, kita mempunyai hobi yang sama, dan kita mempunyai mimpi yang sama. Protesku malam itu setelah Dilla pamit pulang kerumahnya.

Mamah hanya menjawab dengan pandangan sinis dan membanting pintu masuk ke kamarnya. Akupun tak bisa menahannya jika sudah seperti itu. Selama aku hidup, baru kali ini aku melihat mama semarah itu padaku, sangat marah.

 ###

Sebulan setelah itu, kesehatan mama menurun drastic. Tuhan, aku tidak pernah melihat mama seburuk ini kondisinya, batinku saat menunggui mama dirumah sakit selepas pingsan di kantornya sehari sebelumnya.

Dokter bilang jika mama mempunyai penyakit jantung. Bahkan akupun tak tahu selama ini. Ma, kenapa gak pernah cerita? Isakku disamping mama dengan dipenuhi seluruh alat disekujur badannya. Seminggu, waktu yang teramat singkat bagiku untuk mengetahui penyakit mama.

“Ma, maafin veraaa ma. Vera kan mau ngajak mama ke museum minggu ini, kenapa mama malah sakit?” aku tak kuasa menahan air mata yang mengalir deras begitu saja.

Tangan mama bergerak perlahan menyentuh jariku. Aku langsung bangun dan menatap matanya yang sayu. Dia tersenyum tipis. Aku mendekatkan telinga ke samping, mama mengucapkan sesuatu.

Aku kaget, tapi aku akan menuruti permintaannya itu.

Entahlah, apa yang akan mama lakukan. Seribu pikiran memenuhi kepalaku malam ini. Malam ini giliran bibi yang menjaga mama, aku pulang ke rumah untuk istirahat, sudah dari kemarin aku belum kerumah.

 ###

Siang itu, saat aku menunggui mama dirumah sakit seseorang masuk ke kamar rawat inap mama. Orang yang sangat membuatku bahagia akhir-akhir ini, siapa lagi kalau bukan Dilla. Akan tetapi setelah itu, ada seseorang lagi mengikuti di belakangnya. Seorang laki-laki berbadan tegap dengan kumis dan jenggot yang sudah agak beruban.

Kubangunkan mama perlahan. Sedikit agak berat membuka mata dan akhirnya mampu membuka sempurna. Mama perlahan menatapku, Dilla dan lalu lelaki itu. Entahlah dia siapa, tapi sekilas aku pernah melihatnya ada di jejeran foto di rumah Dilla. Aku langsung mahfum jika itu adalah papanya Dilla, yang baru pulang dari Milan.

Mama tersenyum getir melihat laki-laki itu. Begitupun lelaki itu. Dia lantas terduduk dan memegangi tangan mama. Kulihat, ada buliran tipis air mengalir diantara mereka berdua. Aku dan Dilla lantas berpandangan aneh, tanpa sadar air mata keluar juga dari mataku. Aku berlari keluar kamar, Dilla mengejarku.

Diluar ruangan, aku tak kuasa lagi. Tangisku semakin menjadi. Dilla menjajari dudukku. Dia mengelus perlahan punggungku.

“kamu udah tau dari kapan?” tanyaku yang persis seperti orang menjerit.

“2 hari lalu, saat papa pulang…bla..bla.. blaa…”

Aku tak sanggup lagi mendengar penjelasannya. Yang kuingat setelah itu, semuanya didepanku gelap gulita. Tanpa cahaya.

 ###

Ruangan kantor ini dan Vera berjalan perlahan, masih mengeja satu demi satu isi penjelasan SMS itu. Dari lelaki itu……………

 

 
Jakarta, 16 Maret 2014
Sorry ya baru sempat menyelesaikan part 2 nya, sibuk oey, :D

 

 

0 comments:

Post a Comment