Mataku yang
berkunang-kunang, seakan membuka semakin lama semakin melebar. Ada sejumput
cahaya dari atas yang berpendar kekuningan, menghiasi sebuah ruangan yang serba
hijau, ada sebuah meja kecil di pojokan
ruangan lengkap dengan setumpuk buku-buku tebal berjajar rapi.
“Dimana ini?”
batinku bertanya sambil kupegang kepala yang masih agak sakit.
Seseorang
mengetuk pintu dan membukanya. Aku terperanjat. Seseorang yang beberapa bulan
ini selalu mengusik hidupku. Hei, kenapa dia ada disini, ini dimana. Batinku
berontak.
Dia berjalan
pelan-pelan sambil membawa sebuah nampan berisi piring dan gelas. Mataku sudah
tidak sanggup menatap apa yang ada di dalamnya. Dia tersenyum dan semakin
mendekat ke tempat tidur. Aku semakin menjauh ke pinggir sisi ranjang yang
lain. Jelas terlihat wajah ketakutan padaku.
“kamu tadi pingsan dikampus, dan kampus uda
sepi. Aku bingung bawa kamu kemana, jadinya aku bawa kerumahku. Maaf ya,
sekalian ada yang ngurus. Si bibik” tanpa diminta dia menjelaskan apa yang ada
dipikiranku.
“buruan gih
dimakan, pasti laper kamu tuh” katanya sambil menaruh nampan itu di meja.
Semerbak aroma soup dan teh anget menyembul. Wajahku langsung berubah seperti
orang yang gak pernah makan seminggu. Dan tanpa sadar, dia masih berdiri di
dekat pintu. Melihatku berulah seperti anak kecil mendapatkan balon atau permen
dari mamanya. Aku menoleh dan memsang muka sedikit cemberut. Dia buru-buru
menutup pintu kamar.
Setelah dia
keluar, akupun langsung melahap habis makanan itu tanpa sisa. Benar-benar lapar
yaa nak, kataku sambil mengelus lembut perut.
Setelah kejadian
itu, ku tak pernah absen main kerumah Nadilia Kesumo itu. Yaa, cowok yang dari
awal mula aku sangat membencinya entah sekarang rasa apa yang ada di hatiku.
Bisa saja hanya kagum atau memang aku sayang? Ahh, aku hanya merasa nyaman saja
bila bisa dekat-dekat terus disampingnya, itu saja.
Ternyata lelaki
yang dulu sangat aku benci bisa mengubahku seperti ini. Selama kurang kurang
lebih tiga bulan ini, kami kerap terlihat bersama. Entah itu dikampus ataupun
di tempat-tempat manapun yang penuh berisi buku. Yaah, bisa dibilang kita
adalah nerd. Benar-benar kutu buku. Dalam sehari bisa kita melahap buku-buku
yang ada dalam sekejap.
“Dil, punya
koleksi buku baru apa?” pertanyaan retoris yang kusampaikan di gagang telepon
malam ini. Karena hamper semua buku yang
ada dikamarnya sudah kita habiskan bersama, saling mengisi dan mendiskusikan
apa-apa yang ada di dalam buku tersebut.
Nadilia Kesumo,
cowok yang selama ini kukenal sangat santun dan sangat pemilih dalam penggunaan
kata-kata itu, tak pernah sedikitpun berkata yang sedikit membentak atau apa.
Dia dirumah hanya bersama pembantunya. Dia sekalipun tidak pernah bercerita
tentang keluarganya, akupun bahkan tidak pernah mau tahu. Setiap kita ketemu
hanya membahas buku dan buku.
Aku hanya
melihat fotonya bersama sang ayah di sudut meja kecil hijaunya. Foto yang
diambil didepan gedung sate Bandung. Sebuah harmonisasi yang kental sekali
antara bapak dan anak. Dan hey, dimanakah ibunya?
“mama sudah
meninggal ve, sejak aku lahir mama sudah ndak ada. Itu yang papa bilang” jawab
Nadil sambil masih menghabiskan sisa-sia mie ayam di mangkuknya, di sebuah sore
di pojokan kantin kampus.
“maaf”
Dia menggeleng
lemah “nevermind”
“papaku juga
dil, sudah ndak ada sejak aku lahir” kataku sambil melihat ke atas. Menerawang
bagaimana mama menceritakan bahwa papa sudah tidak ada di dunia ini.
Kami sama-sama
larut dalam pikiran masing-masing. Menikmati setiap episode yang terputar dari
rekam memori otak. Antara yang satu dan lainnya yang tak tahu apalah itu
isinya.
###
Entah apa yang
terjadi pada Mamah sejak hari itu. Hari dimana aku membawa Dilla main kerumah.
Semua berbeda, semuanya semu, semuanya berantakan. Tak ada lagi gairahnya untuk
bekerja, tak ada lagi gairahnya untuk menulis. Mamah, apa salahnya Dilla? Tak
bisakah aku berteman dengannya? Kita itu cocok, kita mempunyai hobi yang sama,
dan kita mempunyai mimpi yang sama. Protesku malam itu setelah Dilla pamit
pulang kerumahnya.
Mamah hanya
menjawab dengan pandangan sinis dan membanting pintu masuk ke kamarnya. Akupun tak
bisa menahannya jika sudah seperti itu. Selama aku hidup, baru kali ini aku melihat
mama semarah itu padaku, sangat marah.
Sebulan setelah
itu, kesehatan mama menurun drastic. Tuhan, aku tidak pernah melihat mama
seburuk ini kondisinya, batinku saat menunggui mama dirumah sakit selepas
pingsan di kantornya sehari sebelumnya.
Dokter bilang
jika mama mempunyai penyakit jantung. Bahkan akupun tak tahu selama ini. Ma,
kenapa gak pernah cerita? Isakku disamping mama dengan dipenuhi seluruh alat
disekujur badannya. Seminggu, waktu yang teramat singkat bagiku untuk
mengetahui penyakit mama.
“Ma, maafin
veraaa ma. Vera kan mau ngajak mama ke museum minggu ini, kenapa mama malah
sakit?” aku tak kuasa menahan air mata yang mengalir deras begitu saja.
Tangan mama
bergerak perlahan menyentuh jariku. Aku langsung bangun dan menatap matanya
yang sayu. Dia tersenyum tipis. Aku mendekatkan telinga ke samping, mama
mengucapkan sesuatu.
Aku kaget, tapi
aku akan menuruti permintaannya itu.
Entahlah, apa
yang akan mama lakukan. Seribu pikiran memenuhi kepalaku malam ini. Malam ini
giliran bibi yang menjaga mama, aku pulang ke rumah untuk istirahat, sudah dari
kemarin aku belum kerumah.
Siang itu, saat
aku menunggui mama dirumah sakit seseorang masuk ke kamar rawat inap mama. Orang
yang sangat membuatku bahagia akhir-akhir ini, siapa lagi kalau bukan Dilla. Akan
tetapi setelah itu, ada seseorang lagi mengikuti di belakangnya. Seorang laki-laki
berbadan tegap dengan kumis dan jenggot yang sudah agak beruban.
Kubangunkan mama
perlahan. Sedikit agak berat membuka mata dan akhirnya mampu membuka sempurna. Mama
perlahan menatapku, Dilla dan lalu lelaki itu. Entahlah dia siapa, tapi sekilas
aku pernah melihatnya ada di jejeran foto di rumah Dilla. Aku langsung mahfum
jika itu adalah papanya Dilla, yang baru pulang dari Milan.
Mama tersenyum
getir melihat laki-laki itu. Begitupun lelaki itu. Dia lantas terduduk dan
memegangi tangan mama. Kulihat, ada buliran tipis air mengalir diantara mereka
berdua. Aku dan Dilla lantas berpandangan aneh, tanpa sadar air mata keluar
juga dari mataku. Aku berlari keluar kamar, Dilla mengejarku.
Diluar ruangan,
aku tak kuasa lagi. Tangisku semakin menjadi. Dilla menjajari dudukku. Dia mengelus
perlahan punggungku.
“kamu udah tau
dari kapan?” tanyaku yang persis seperti orang menjerit.
“2 hari lalu,
saat papa pulang…bla..bla.. blaa…”
Aku tak sanggup
lagi mendengar penjelasannya. Yang kuingat setelah itu, semuanya didepanku
gelap gulita. Tanpa cahaya.
Ruangan kantor
ini dan Vera berjalan perlahan, masih mengeja satu demi satu isi penjelasan SMS
itu. Dari lelaki itu……………
Jakarta, 16
Maret 2014
Sorry ya baru
sempat menyelesaikan part 2 nya, sibuk oey, :D
0 comments:
Post a Comment